John Refra alias John Kei dan kelompoknya kembali menggemparkan publik karena lagi-lagi berurusan dengan kepolisian akhir pekan lalu.
John Kei dan puluhan anak buahnya ditangkap karena dugaan penyerangan disertai penembakan di Perumahan Green Lake City, Kota Tangerang, Banten dan penganiayaan di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, pada waktu yang hampir bersamaan, Minggu (21/6) lalu.
Akar aksi penyerangan dan penganiayaan itu dipicu masalah pribadi antara John Kei dengan pamannya sendiri, Nus Kei terkait sengketa lahan di Ambon, Maluku. John Kei disebut kecewa dengan uang bagi hasil penjualan lahan tersebut.
Nama John Kei sendiri tak asing di ibu kota. Dia dan kelompoknya beberapa kali terlibat kasus hukum. Pada 2013 misalnya, John Kei dan beberapa anak buahnya dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana terhadap bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono.
Dia divonis 16 tahun penjara dan baru saja mendapatkan bebas bersyarat pada Desember 2019 lalu.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun menilai sosok John Kei telah mendapat cap liar dari masyarakat sebagai kelompok preman besar di ibu kota dan sekitarnya.
Ubed menilai fenomena kelompok preman di Jakarta memiliki kecenderungan yang sama.
Pertama, Ubed memandang kelompok preman besar di Jakarta banyak mengusung kharisma tokoh hingga etnisitas wilayah atau marga tertentu. Kelompok seperti John Kei berkembang dengan basis ikatan persaudaraan sekampung di daerah asal, yakni Pulau Kei di Maluku.
Dia juga menyebut kelompok preman dipastikan tidak mungkin beraksi sendirian. Kelompok preman pasti memiliki punya struktur koordinasi yang cukup rapi antaranggota.
"Mereka yang seperti John Kei tak kecil. Mereka pasti punya ciri khas, salah satunya mereka punya pasukan dan berjejaring yang rapi," kata Ubed.
Ciri khas kelompok preman besar, lanjut Ubed, tentu dikombinasikan dengan bekingan oleh oknum yang memiliki kekuasaan dan kekuatan.
Oknum tersebut bisa dari kalangan eksekutif dan legislatif baik di tingkat pusat atau daerah, bahkan aparat keamanan hingga kelompok bisnis.
"Ini namanya political dan financial beking bagi preman. Karena mereka memiliki keuntungan dari situ," kata Ubed.
Ubed menilai relasi yang terjalin antara oknum yang membekingi dan preman dipastikan bersifat simbiosis mutualisme alias saling menguntungkan satu sama lain.
Di satu sisi para pembeking membutuhkan jasa preman untuk mengamankan kekuasaan hingga memberikan keamanan dan perlindungan. Di sisi lain, preman mendapatkan keuntungan finansial atau proyek tertentu hingga mendapatkan perlindungan untuk menjalankan aksi-aksi premanisme di jalanan.
Contoh bentuk keuntungan finansial, misalnya para preman itu mendapat jatah penguasaan lahan seperti perparkiran, pasar-pasar hingga proyek pembukaan lahan baru untuk bisnis.
"Politik penguasaan lahan itu kerap menggunakan preman untuk melawan preman lain. Jadi bisa mahfum kalau sering terjadi bentrok antarpreman di lapangan ya karena perebutan financial resource itu," kata dia.
Ubed menyatakan aksi simbiosis mutualisme antara elit penguasa dan preman bukan suatu hal yang baru. Bila ditarik melintasi sejarah Indonesia, fenomena ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan sampai masa Orde Baru.
Di zaman kerajaan, kata Ubed, banyak penguasa yang memanfaatkan jasa preman untuk melancarkan kudeta hingga memperluas jangkauan kekuasaan. Sama halnya saat zaman kolonialisme, para penjajah memanfaatkan preman untuk mengintai dan menghabisi para pejuang tanah air yang menjadi musuh penjajah kala itu.
Kemudian pada rezim Orde Baru, kata Ubed, kelompok preman mengalami metamorfosis. Mereka bertransformasi dengan mendirikan ormas-ormas yang dipelihara oleh kekuasaan.
"Preman yang direkrut oleh ormas tertentu lalu mereka dijadikan sebagai intel non resmi dari aparat untuk digunakan beberapa hal. Bisa untuk memberangus lawan politik hingga menciptakan kerusuhan-kerusuhan," kata dia.
Ubed menyatakan pola hubungan itu yang membuat preman tumbuh membesar dan bertahan sampai saat ini. Sebab, mereka pasti mendapatkan sumber-sumber finansial dan perlindungan.
Dengan kehadiran oknum pelindung itulah yang membuat kelompok preman tumbuh pesat dan besar di Jakarta sehingga sulit dibasmi.
"Problem premanisme di ibu kota itu tidak pernah dituntaskan karena tak menyentuh persoalan sesungguhnya," kata dia.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMiaGh0dHBzOi8vd3d3LmNubmluZG9uZXNpYS5jb20vbmFzaW9uYWwvMjAyMDA2MjMxMzA4MTItMTItNTE2NDEzL2pvaG4ta2VpLWRhbi1mZW5vbWVuYS1wcmVtYW5pc21lLWlidS1rb3Rh0gEA?oc=5
2020-06-23 06:25:47Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar