TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak menilai terdapat inkonsistensi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasalnya dalam putusan-putusan sebelumnya, MK sempat menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan lembaga negara bukanlah wewenangnya untuk memutuskan.
Salah satu yang menyoroti tentang inkonsistensi itu adalah Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Arsul membandingkan putusan MK di kasus pimpinan KPK dengan putusan MK di uji materi pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang MK. Gugatan itu dilayangkan untuk menggugat masa jabatan hakim konstitusi yang bisa mencapai 15 tahun. Menurut politikus PPP itu, saat itu MK menyatakan bahwa soal masa jabatan merupakan wewenang pembuat UU atau open legal policy.
“Isu besarnya ada pada inkonsistensi dari putusan MK pada satu kasus yang sama,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan itu pada Jumat, 26 Mei 2023.
Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Gugatan tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Ghufron mengajukan gugatan terhadap Pasal 29 huruf e tentang minimal batas usia pimpinan KPK dan Pasal 34 yang mengatur mengenai masa jabatan.
Dalam amar putusan, MK mengubah ketentuan dua pasal dalam UU KPK hasil revisi tersebut. Dalam Pasal 29 huruf e, MK menambahkan kalimat ‘berpengalaman sebagai pimpinan KPK’ untuk mengakomodasi calon pimpinan KPK yang ingin maju, namun belum berumur 50 tahun. Sementara dalam Pasal 34, Mahkamah Konstitusi mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan jabatan pimpinan lembaga lainnya telah menyebabkan diskriminasi terhadap lembaga KPK. Selain itu, MK menyatakan masa jabatan 4 tahun telah menyebabkan pimpinan KPK dipilih sebanyak dua kali dalam satu periode masa jabatan presiden dan anggota DPR. MK menilai hal tersebut telah mengganggu independensi KPK.
Bukan Pertama Kali
MK sebetulnya bukan kali ini saja mengadili gugatan terkait masa jabatan pimpinan lembaga negara. Pada 2020, MK sempat menangani gugatan dari dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Allan Fatchan terkait UU Nomor 7 Tahun . Allan mengajukan gugatan terhadap Pasal I Angka 6 mengenai masa jabatan 7 tahun 2020 tentang MK. Allan menggugat masa jabatan hakim konstitusi yang bisa mencapai 15 tahun. Menurut Allan dalam gugatannya, panjangnya masa jabatan hakim konstitusi itu bisa menyebabkan konflik kepentingan.
Akan tetapi, MK memutuskan menolak gugatan tersebut. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa terkait masa jabatan merupakan wewenang pembuat Undang-Undang atau open legal policy. “MK pun menegaskan bahwa batas usia yang variatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan merupakan open legal policy pembentuk undang-undang dan bukan persoalan konstitusional,” seperti dikutip dari putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Inkonsistensi dalam pertimbangan inilah yang disorot oleh Arsul Sani. Karena itu, Arsul mengatakan DPR dan Pemerintah juga akan membahas revisi UU MK terkait masa jabatan hakim. Dia menilai masa jabatan hakim MK seharusnya juga sama seperti KPK dan lembaga lainnya, yaitu 5 tahun. “Saat ini hampir semua hakim K Sudah menjabat di atas 5 tahun,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni juga menyoroti putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK itu. Dia mengatakan yang berhak menentukan masa jabatan pimpinan KPK adalah pemerintah dan parlemen. "Saya bingung, yang buat UU kan DPR. Kenapa jadi MK yang mutusin perpanjangan suatu jabatan lembaga. Saya bener-bener bingung," kata Sahroni.
Sahroni mengatakan dirinya juga bingung mengenai kapan putusan itu akan berlaku. Apakah di periode sekarang atau di periode pimpinan yang akan datang. Karena itu, dia mengatakan telah berkomunikasi dengan pimpinan Komisi III DPR lainnya untuk memanggil MK terkait putusan tersebut. "Kami mau panggil MK terkait ini agar publik tidak bertanya-tanya hal keputusan dari MK,” kata dia.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari juga mengatakan hal serupa. Dia mengatakan putusan MK melampaui kewenangan karena memutuskan gugatan atas ketentutan yang menyangkut open legal policy. “Jika ada gugatan dalam ketentuan open legal policy, MK biasanya menolak memutuskan perkara itu karena memang tidak berwenang,” kata dia.
Dia mencontohkan gugatan ambang batas calon presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen yang berulangkali diajukan ke MK. Biasanya, kata dia, MK bakal berargumentasi mengembalikan kewenagan kepada pembuat UU yakni pemerintah dan DPR. Hal itu merujuk pada Pasal 24 ayat 3 UUD1945 yang mengatur bahwa badan-badan yang fungsinya berhubungan dengan kekuasaan pengadilan diatur lebih lanjut dalam UU.
ROSSENO AJI | IMA DINI SAFIRA | AVIT HIDAYAT
https://news.google.com/rss/articles/CBMib2h0dHBzOi8vbmFzaW9uYWwudGVtcG8uY28vcmVhZC8xNzMwNTI4L2FuZ2dvdGEtZHByLXNvcm90aS1pbmtvbnNpc3RlbnNpLW1rLWRpLXB1dHVzYW4tbWFzYS1qYWJhdGFuLXBpbXBpbmFuLWtwa9IBbmh0dHBzOi8vbmFzaW9uYWwudGVtcG8uY28vYW1wLzE3MzA1MjgvYW5nZ290YS1kcHItc29yb3RpLWlua29uc2lzdGVuc2ktbWstZGktcHV0dXNhbi1tYXNhLWphYmF0YW4tcGltcGluYW4ta3Br?oc=5
2023-05-27 09:05:53Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar