Rabu, 06 April 2022

Unhas Tanya Balik IDI soal Tekanan untuk Luluskan Disertasi Terawan - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

Rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas) mempertanyakan dasar tudingan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menyebut terdapat tekanan kepada para pembimbing untuk meluluskan disertasi Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengenai metode cuci otak pada 2016.

Unhas justru balik bertanya kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI mengenai hal tersebut. Menurutnya, IDI harus menjelaskan secara utuh mengenai informasi yang diungkapkannya ke publik tersebut.

"Kami mengharapkan penjelasan dari MKEK IDI terkait hal ini," kata Ishak, Selasa (5/4).


Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) sebelumnya menduga ada tekanan yang diterima para pembimbing Terawan Agus Putranto di Unhas terkait kelulusan disertasi berisi metode cuci otak pada 2016.

Hal itu disampaikan Anggota MKEK IDI Rianto Setiabudy. Menurutnya, dia yakin para pembimbing tahu ada kekurangan dari terapi cuci otak itu. Hanya saja, kata dia, para pembimbing itu bungkam, diduga ada tekanan eksternal sehingga meluluskan disertasi tentang terapi tersebut.

"Mereka tahu sejak semula weakness ini, cuma mereka terpaksa mengiyakannya karena konon ada tekanan eksternal yang saya sama sekali juga tidak tahu bentuknya apa," kata Rianto dalam rapat bersama DPR, Senin (4/4).

Rianto menjelaskan bahwa terapi tersebut memiliki kelemahan secara substansial.

CNNIndonesia.com telah menghubungi Ketua MKEK IDI Djoko Widyarto melalui panggilan telepon dan pesan singkat untuk meminta konfirmasi ulang atas bentuk dugaan tekanan yang diterima Unhas terkait pelolosan disertasi Terawan. Namun yang bersangkutan belum memberikan respons.

Terapi cuci otak ala Terawan itu dikenal juga sebagai metode Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA). Nama IAHF baru diperkenalkan Terawan melalui disertasi di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2016 dan disertasi itu pun dinyatakan lulus.

Pada 2018, terapi ala Terawan itu direkomendasikan untuk dihentikan. Rekomendasi itu berasal dari Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Pelayanan Kesehatan dengan Metode IAHF sebagai terapi yang resmi dibentuk oleh Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Farid Moeloek.

CNNIndonesia.com mencoba mengonfirmasi ke Dekan Fakultas Kedokteran Unhas periode 2018-2022, Prof Budu terkait disertasi IAHF Terawan yang dianggap tidak memenuhi kaidah ilmiah. Namun, pihak Kedokteran Unhas enggan menanggapi hal tersebut.

Begitu pun dengan Dekan Fakultas Kedokteran yang baru, Prof Haerani Rasyid saat dikonfirmasi enggan menjawab ketika dimintai keterangan soal disertasi dokter Terawan.

Respons yang sama juga ditujukan oleh Rektor Unhas, Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu yang coba dikonfirmasi baik sambungan telepon mau chat WhatsApp enggan memberikan komentar. Sebelumnya, Satgas IAHF telah memberhentikan pelayanan kesehatan dengan metode IAHF di seluruh Indonesia.

"Pelayanan kedokteran dengan metode IAHF untuk tujuan terapi dihentikan di seluruh Indonesia karena belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat IAHF," kata Satgas IAHF dalam sebuah keterangannya.

Satgas menilai terapi cuci otak Terawan yang telah dilakukan terhadap banyak pasien hingga sekitar 40 ribu orang, belum jelas apakah prosedur tersebut telah didukung oleh bukti ilmiah yang sahih. Penggunaan IAHF dalam pengobatan terawan yang berupa terapi stroke iskemik kronik masih dipertanyakan terkait keselarasannya dengan dengan etika, hukum, dan praktik profesi kedokteran.

"Diperlukan penelitian tentang IAHF untuk tujuan terapi dengan metodologi penelitian yang baik dan benar serta dengan dasar-dasar ilmiah untuk mendapatkan bukti efektivitas dan keamanan IAHF yang dapat diterima secara universal oleh dunia kedokteran," lanjut mereka.

Satgas kemudian membeberkan metode penelitian mereka sehingga kemudian berujung untuk merekomendasikan penghentian praktik cuci otak Terawan. Pertama, seluruh jurnal ilmiah dan penelitian yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan format Evidence based medicine (EBM). Penelitian Terawan juga tidak memenuhi syarat untuk digunakan dasar pemberian terapi.

Kedua, terapi Terawan itu bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 yang merupakan rujukan etika profesi bagi seluruh dokter di Indonesia. Penelitian Terawan dianggap melanggar KODEKI Pasal 6 lantaran tidak memiliki bukti ilmiah sebagai dasar praktik IAHF untuk tujuan terapi.

Ketiga, terapi cuci otak Terawan dinilai melanggar Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit lantaran masih belum bisa menunjukkan bukti ilmiah.

Keempat, di dalam standar kompetensi dokter spesialis radiologi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak memuat IAHF ataupun modifikasi DSA sebagai tindakan terapi. Satgas melanjutkan, yang masuk dalam standar kompetensi adalah tindakan DSA sebagai metode diagnostik tanpa penambahan heparin dengan flushing. Hingga saat itu belum ada Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) tentang tindakan IAHF untuk terapi tersebut.

(ain/ain)

[Gambas:Video CNN]

Adblock test (Why?)


https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMiggFodHRwczovL3d3dy5jbm5pbmRvbmVzaWEuY29tL25hc2lvbmFsLzIwMjIwNDA2MDYyODE0LTIwLTc4MDg2MS91bmhhcy10YW55YS1iYWxpay1pZGktc29hbC10ZWthbmFuLXVudHVrLWx1bHVza2FuLWRpc2VydGFzaS10ZXJhd2Fu0gEA?oc=5

2022-04-05 23:44:19Z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar