Jumat, 24 Desember 2021

Yahya Staquf: Saya Tak Mau Ada Capres-Cawapres dari PBNU di 2024 - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026. Yahya menawarkan sejumlah perubahan, termasuk menempatkan ulang posisi dan sikap PBNU menjelang Pemilu 2024.

Di sela-sela "kampanye" pada 10 November lalu, Yahya menerima permintaan wawancara dari CNNIndonesia.com. Kami menemui Yahya di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan.

Yahya membeberkan visinya memimpin PBNU. Ia ingin mengonsolidasikan kembali internal PBNU menjelang tahun politik.


Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo itu yakin masalah konsolidasi membuat NU terjebak dalam politik praktis pada 2019. Ia tak ingin hal itu terulang kembali saat 2024 nanti.

Yahya juga menjawab sejumlah isu yang mendera PBNU di kepemimpinan Said Aqil Siradj. Ia bicara soal kritik tumpul PBNU kepada pemerintah hingga isu Palestina-Israel.

Berikut dialog CNNIndonesia.com dengan Yahya Cholil Staquf sebelum ia terpilih menjadi ketua umum PBNU 2021-2026.

Anda maju untuk menantang calon petahana Said Aqil Siradj. Apa yang Anda tawarkan ke warga Nahdliyin?

Dorongan saya ya dorongan tentang apa yang saya lihat sebagai kebutuhan dalam realitas NU hari ini. Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan, saya tahu bagaimana mengerjakannya, saya sudah pernah melakukan model strategi yang mirip di Ansor (badan otonom PBNU Gerakan Pemuda Ansor) sebelumnya, sudah berhasil. Saya kira saya bisa kerjakan. Makanya saya tawarkan.

Mengapa hal itu penting?

Paling utama soal konsolidasi internal itu. Konsolidasi internal kita butuhkan segera. Kemarin bukannya secara sengaja NU mau berpolitik sebetulnya, tapi NU, katakanlah, terlibat dalam situasi yang kemudian menjadikannya masuk dalam politik, menjadi kompetitor di dalam pertarungan politik. NU sulit untuk mengelak dari keadaan itu. Menurut saya, persis karena konsolidasi yang belum siap, konsolidasi yang belum optimal.

Bahwa NU harus melakukan repositioning terkait dengan politik, itu jelas. Supaya repositioning ini menjadi langkah strategis yang memang membawa maslahat, ya harus dilakukan secara terkonsolidasi. Nah, kebutuhan konsolidasi itu sendiri bukan hanya terkait dengan repositioning, tapi juga terkait dengan kebutuhan untuk internal NU sendiri menghadapi tantangan-tantangan baru sekarang.

Kita lihat dunia hari ini ndak bisa dihadapi secara sporadis, ndak bisa dihadapi sendiri-sendiri, entitas yang terpisah satu sama lain, tapi harus dihadapi dalam strategi yang terkonsolidasi. Tantangan ini besar sekali. Itu sebabnya kebutuhan konsolidasi itu mutlak sekarang ini, tidak bisa ditunda karena apa yang kita persepsikan sebagai ancaman sudah semakin dekat. Dalam konteks itu, saya menawarkan diri.

Saya menawarkan agenda. Jadi, saya tidak cuma menawarkan diri saya untuk dipilih. Saya menawarkan agenda dan saya menawarkan diri saya untuk mengeksekusi agenda itu. Saya punya credential untuk memegang tanggung jawab pekerjaan itu. Itu saja.

Yang paling menggembirakan buat saya, bukan bertambahnya dukungan cabang-cabang, tapi makna di balik itu. Bahwa sekarang cabang-cabang ini berpikir tentang jabatan di dalam NU itu sebagai pekerjaan organisasi, bukan sekadar jabatan yang bisa dijadikan leverage untuk sembarang hal. Orang yang dipilih adalah orang yang tahu bagaimana mengerjakan ini. Itu sudah jadi cara berpikir cabang-cabang saat ini. Itu transformasi luar biasa.

Selama ini, yang ada kompetisi untuk mendapatkan leverage dan jabatan itu. Kemudian, setelah dapat leverage, bisa dipakai sembarang hal. Mungkin ada yang menguntungkan buat NU, tapi dengan cara yang menurut saya kurang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan strategis. Saya ingin memperkenalkan cara berpikir baru.

Said Aqil gagal melakukannya dalam dua periode kepemimpinan?

Bukan hanya dua periode. Ini sudah lama sejak tahun '50-an. Jadi, tesis saya kenapa NU tidak optimal kinerjanya? Karena konstruksi organisasinya tidak berubah sejak tahun '50-an.

NU ini didirikan sebagai organisasi yang eksklusif sekali, memang organisasinya ulama betul, kiai betul. Kalau tahun '26 itu saya daftar, enggak akan diterima karena tidak memenuhi standar kekiaian yang diterima waktu itu. Yang memenuhi standar kelasnya Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, gitu-gitu, elite sekali.

Kemudian, tahun '52, NU menyatakan diri sebagai partai politik. Berubah konstruksinya menjadi konstruksi organisasi massa politik, barang siapa mencoblos gambar NU, itulah orang NU. Nah, model organisasi juga berubah, mulai dari mindset, kemudian logika struktural, kemudian standar rekrutmen kepemimpinan, mentalitas, berubah semua yang tadi eksklusif menjadi parpol.

Jawaban Yahya Cholil Staquf berlanjut ke halaman berikutnya...

Yahya Staquf Tak Ingin PBNU Terjebak Politik Praktis

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Adblock test (Why?)


https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMifmh0dHBzOi8vd3d3LmNubmluZG9uZXNpYS5jb20vbmFzaW9uYWwvMjAyMTEyMjQxNDA2MDAtMjAtNzM4MjczL3lhaHlhLXN0YXF1Zi1zYXlhLXRhay1tYXUtYWRhLWNhcHJlcy1jYXdhcHJlcy1kYXJpLXBibnUtZGktMjAyNNIBAA?oc=5

2021-12-24 08:24:30Z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar