Jumat, 14 Mei 2021

Konflik Israel-Palestina (4): Akhir Mandat Palestina dan Perang Arab-Israel 1948 - Kompas.com - KOMPAS.com

KOMPAS.com — Ketika tensi di Eropa turun pasca berakhirnya Perang Dunia II, gejolak justru memanas di wilayah Mandat Palestina.

Kelompok Zionis melancarkan serangan terus menerus kepada orang Inggris di wilayah itu.

Mereka menuntut dibukanya keran imigrasi untuk bangsa Yahudi, yang masih tertahan di kamp Holocaust Nazi Jerman.

Baca juga: Konflik Israel-Palestina (1): Gerakan Zionisme sampai Mandat Palestina

Aksi kekerasan yang terus terjadi di Mandat Palestina berujung pembentukan Komite Investigasi Anglo-Amerika pada 1946.

Komite ini kemudian menyetujui rekomendasi Amerika Serikat (AS), terkait pemindahan segera 100.000 pengungsi Yahudi di Eropa ke Palestina, dan merekomendasikan tak ada negara Arab atau Yahudi di Palestina.

Namun, implementasi rekomendasi ini ternyata tak semudah yang dibayangkan.

Partai Buruh Inggris berang karena Presiden AS Harry S Truman mendukung imigrasi 100.000 pengungsi Yahudi, tetapi menolak temuan komite lainnya.

Kondisi inilah yang membuat Inggris mengumumkan niatnya menyerahkan Mandat Palestina ke tangan PBB.

Baca juga: Konflik Israel-Palestina (2): Bentrokan Awal sampai Solusi Dua Negara

Pembagian wilayah

PBB lalu membentuk Komite Khusus untuk Palestina (UNSCOP) pada 15 Mei 1947. Terdiri dari 11 negara, komite ini melakukan sidang dan kunjungan ke Palestina untuk melakukan investigasi.

Pada 31 Agustus 1947, laporan UNSCOP merekomendasikan kepada Sidang Umum PBB sebuah skema pembagian wilayah Palestina dalam masa transisi, selama dua tahun dimulai pada 1 September 1947.

Pembagian itu terdiri atas negara Arab merdeka (11.000 km persegi), negara Yahudi (15.000 km persegi). Sementara kota Yerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali PBB.

Usulan ini tidak memuaskan kelompok Yahudi maupun Arab.

Bangsa Yahudi kecewa karena kehilangan Yerusalem. Namun, kelompok Yahudi moderat menerima tawaran ini dan hanya kelompok-kelompok Yahudi radikal yang menolak.

Sementara itu, kelompok Arab khawatir pembagian ini akan mengganggu hak-hak warga mayoritas Arab di Palestina.

Dalam pertemuan di Kairo, Mesir, pada November dan Desember 1947, Liga Arab mengeluarkan resolusi yang menyetujui solusi militer untuk mengakhiri masalah ini.

Dalam kenyataannya, sejumlah negara Arab memiliki agenda tersendiri.

Jordania ingin menguasai Tepi Barat, sementara Suriah menginginkan bagian utara Palestina, termasuk wilayah yang diperuntukkan bagi Yahudi dan Arab.

Baca juga: Konflik Israel-Palestina (3): Holocaust yang Berujung Pendirian Negara Israel

Lalu bagaimana dengan Inggris? Meski menerima usulan pembagian ini, Inggris enggan menerapkannya di lapangan karena jelas-jelas solusi tidak diterima kedua pihak.

Tapi, Inggris juga enggan memerintah Palestina bersama PBB di masa transisi.

Pada September 1947, Inggris mengumumkan kekuasaan mereka di Mandat Palestina akan berakhir pada 14 Mei 1948 tengah malam.

Sebagai respons pernyataan Inggris ini, Presiden AS Harry Truman mengajukan proposal baru yang membatalkan rencana pembagian Palestina.

Dalam proposal itu, AS mengusulkan PBB langsung memerintah Palestina. Kekacauan tak terelakkan mengakibatkan korban jiwa berjatuhan di mana-mana.

Hingga akhir Maret 1948, setidaknya 2.000 orang meninggal dunia dan 4.000 orang terluka akibat berbagai kerusuhan.

Pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum Mandat Inggris di Palestina berakhir, Ketua Yishuv (Komunitas Yahudi di Palestina), David Ben Gurion, mendeklarasikan berdirinya negara Israel di hadapan 250 orang undangan di Museum Tel Aviv.

Dalam deklarasi itu, Ben Gurion sama sekali tidak menyebutkan batas-batas negara Israel yang baru berdiri.

Sejumlah catatan menyebut, para pendiri Israel sepakat tidak menyebutkan batas negara itu, karena negara-negara Arab di sekitar Israel pasti tidak akan menyetujuinya.

Baca juga: Israel Kerahkan Ribuan Tentara ke Gaza, Hamas Tebar Ancaman

Perang Arab-Israel (I)

Hanya berselang sehari setelah David Ben Gurion dkk mendeklarasikan berdirinya negara Israel, deklarasi perang datang dari Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Jordania, dan Arab Saudi.

Deklarasi perang ini diikuti invasi pasukan Arab ke wilayah Yahudi. Pada 15 Mei 1948 pecahlah perang Arab-Israel pertama.

Sebanyak 700 orang Lebanon, 1.876 orang Suriah, 4.000 orang Irak, dan 2.800 orang Mesir menyerbu Palestina.

Sementara itu, sekitar 4.500 pasukan Transjordania dipimpin 38 perwira Inggris yang mengundurkan diri dari kesatuannya menyerbu Yerusalem.

Pada awalnya pasukan Arab dengan jumlah pasukan lebih banyak dan persenjataan yang lebih baik dengan mudah menguasai wilayah-wilayah yang ditempati bangsa Yahudi.

Pasukan Suriah, Lebanon, Jordania dan Irak menyerang Galilea, dan Haifa. Sementara di selatan pasukan Mesir maju hingga mencapai Tel Aviv.

Namun, koordinasi antara pasukan Arab ternyata tidak terlalu baik. Di saat-saat akhir, Lebanon menarik mundur pasukannya.

Untuk menghadapi serbuan pasukan koalisi Arab ini, Israel pada 26 Mei 1948 membentuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang anggotanya adalah leburan dari berbagai milisi seperti Haganah, Palmach, Irgun, dan Lehi.

Dalam perkembangannya, IDF justru berhasil mengerahkan lebih banyak pasukan ketimbang pasukan koalisi Arab.

Pada awal 1949, Israel memiliki 115.000 tentara sedangkan koalisi Arab hanya sekitar 55.000 personel saja.

Setelah bertempur selama sembilan bulan, akhirnya pada 1949, tercapai gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Jordania, dan Suriah.

Hasil dari perang ini, Israel berhasil menguasai 78 persen wilayah Mandat Palestina. Sementara Mesir menguasai Jalur Gaza.

Jordania mendapatkan Tepi Barat dan menguasai Yerusalem Timur. Sedangkan Israel memerintah Yerusalem Barat.

Pada 1950, Tepi Barat resmi menjadi wilayah Jordania.

Baca juga: Gaza Akan Segera Kehabisan Bahan Bakar untuk Generator Listriknya

Akibat Perang Arab-Israel I, ratusan ribu orang pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai lokasi.

Setidaknya 750.000 warga Palestina yang mengungsi keluar dari wilayah yang menjadi bagian Israel tidak diizinkan kembali ke wilayah Israel dan ke wilayah negara-negara Arab lainnya.

Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai pengungsi Palestina.

Setelah perang 1948, para pengungsi Palestina tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat (Jordania), Jalur Gaza (Mesir), dan Suriah.

Mereka berusaha kembali masuk ke wilayah Israel, jika tertangkap sesuai amanat hukum internasional mereka akan dideportasi ke tempat asal mereka.

Tapi dalam suratnya ke PBB pada 2 Agustus 1949, PM Israel David Ben-Gurion menolak kembalinya para pengungsi Palestina ke wilayah Israel.

Pemerintah Israel menyatakan solusi untuk pengungsi Palestina adalah penempatan kembali di negara lain, dan bukan mengembalikan mereka ke Israel.

Penolakan ini membuat perlawanan bangsa Palestina terhadap Israel meningkat.

Mesir yang pada awalnya tidak ikut campur, akhirnya aktif melatih dan mempersenjatai para sukarelawan Palestina dari Jalur Gaza yang disebut Fedayeen.

Kelompok inilah yang kemudian aktif melakukan berbagai serangan di wilayah Israel.

Baca juga: Rentetan Serangan Israel di Gaza hingga Tewasnya Komandan Senior Hamas

Pada 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri. Tujuan PLO adalah memerdekakan Palestina dengan perjuangan bersenjata.

Cita-cita PLO adalah mendirikan negara Palestina sesuai dengan tapal batas Mandat Palestina sebelum perang 1948.

Selain itu, PLO juga bertujuan melenyapkan Zionisme dari Palestina dan ingin menentukan sendiri nasib negeri itu.

Di saat yang sama, Mesir terus mendanai dan melatih para sukarelawan Palestina. Selain itu, Mesir juga secara reguler menambah jumlah pasukannya di Gurun Sinai di dekat perbatasan dengan Israel.

Tak hanya Mesir, sejumlah negara Arab seperti Jordania dan Suriah, juga menunjukkan gelagat mengancam.

Akibatnya, Israel memutuskan untuk terlebih dulu menyerang Mesir pada 5 Juni 1967. Pecahlah perang enam hari yang juga akan mengubah wajah Palestina. (Bersambung)

Sumber: Kompas.com (Penulis: Ervan Hardoko | Editor: Ervan Hardoko)

Adblock test (Why?)


https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMiiQFodHRwczovL3d3dy5rb21wYXMuY29tL2dsb2JhbC9yZWFkLzIwMjEvMDUvMTQvMjI1OTExNjcwL2tvbmZsaWstaXNyYWVsLXBhbGVzdGluYS00LWFraGlyLW1hbmRhdC1wYWxlc3RpbmEtZGFuLXBlcmFuZy1hcmFiLWlzcmFlbD9wYWdlPWFsbNIBgAFodHRwczovL2FtcC5rb21wYXMuY29tL2dsb2JhbC9yZWFkLzIwMjEvMDUvMTQvMjI1OTExNjcwL2tvbmZsaWstaXNyYWVsLXBhbGVzdGluYS00LWFraGlyLW1hbmRhdC1wYWxlc3RpbmEtZGFuLXBlcmFuZy1hcmFiLWlzcmFlbA?oc=5

2021-05-14 15:59:00Z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar