KOMPAS.com - Media sosial belakangan diramaikan dengan video menampilkan sekelompok warga yang mengejar pengendara mobil dan meneriakinya maling.
Padahal, pengendara mobil yang diketahui seorang kakek berusia 89 tahun itu bukan pencuri karena tengah mengendarai mobil miliknya.
"Bukan (maling), itu warga aja salah persepsi. Itu punya sendiri kok, sudah kami cek," kata Kasat Reskrim Jakarta Timur AKBP Ahsanul Muqaffi.
Akibat provokasi itu, pengendara lainnya ikut mengejar mobil dan ikut menghakimi si kakek hingga meninggal dunia.
Kasus ini menjadi catatan panjang warga main hakim sendiri dan berujung kematian.
Akhir Oktober lalu, seorang pencuri di Garut juga tewas dihakimi massa dan dikubur hidup-hidup.
Lantas, mengapa aksi main hakim sendiri masih sering terjadi? Berikut penjelasan ahli:
Baca juga: Soal Indeks Literasi Digital, Mengapa Jawa Kalah dengan Daerah Lain?
Fenomena main hakim sendiri
Dosen Studi Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Budi Rajab mengatakan, peristiwa ini sekaligus menegaskan bahwa kekerasan masih melekat di tubuh masyarakat.
Sehingga, masyarakat mudah terprovokasi untuk melakukan aksi main hakim sendiri pada seseorang yang dituduh berkelakuan lain, dalam hal ini berbuat kriminal.
Tak hanya itu, main hakim sendiri juga termasuk bukti belum adanya kepercayaan pada penegak hukum.
"Karena banyak kejadian, pengalaman mereka mungkin dengan tidak main hakim sendiri, ketika diberikan ke kepolisian, pelaku tidak diapa-apain," kata Budi, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/1/2022).
Selain itu, proses hukum yang panjang juga membentuk persepsi bahwa polisi tak segera menangani suatu kasus kriminal.
Padahal, masyarakat menginginkan bahwa persoalan itu segera ditangani. Karena itu, aksi main hakim sendiri pun lebih dipilih.
Baca juga: 10 Daerah dengan Tingkat Literasi Digital Tertinggi 2021, DIY Nomor 1
Senada, sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, munculnya aksi main hakim sendiri basisnya adalah ketidakpercayaan warga pada institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Menurut dia, anggapan warga ketika menyerahkan pelaku kejahatan ke polisi adalah terjadi ketidakadilan terhadap mereka.
Lebih lanjut, Drajat menyebut, warga yang main hakim sendiri ini sebagai prilaku kekerasan kolektif. Ia menyebut ada tiga jenis kekerasan kolektif, yakni:
- Pertama, kekerasan kolektif instrumental yang dilakukan secara bersamaan sebagai bentuk pembelaan, seperti menghakimi pelaku kejahatan.
- Kedua, kekerasan kolektif yang terjadi karena demonstration effect atau ikut-ikutan.
- Ketiga, kekerasan kolektif yang dilakukan karena heroisme atau merasa menjadi pahlawan dan harus membela komunitasnya.
Baca juga: Fakta-fakta Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Nonaktif Langkat
"Tapi kekerasan kolektif apapun itu, orang tidak segera merasa bersalah karena dilakukan bersama-sama," kata Drajat, dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
"Sehingga kalau mereka menemui pencuri, mereka sudah langsung bergerak secara instrumental dengan maksud pencurian tidak lagi terjadi di daerah mereka," tambahnya.
Drajat menilai, hal inilah yang menjadi pembenaran aksi main hakim sendiri.
Jadi, kekerasan kolektif akan berulang karena ada dorongan untuk heroisme, bertindak bersama-sama, dan seringkali mengabaikan kemanusiaan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMigwFodHRwczovL3d3dy5rb21wYXMuY29tL3RyZW4vcmVhZC8yMDIyLzAxLzI1LzE1MzAwMDI2NS9rYXN1cy1rYWtlay04OS10YWh1bi10ZXdhcy1kaWtlcm95b2stZGFuLWZlbm9tZW5hLW1haW4taGFraW0tc2VuZGlyaT9wYWdlPWFsbNIBemh0dHBzOi8vYW1wLmtvbXBhcy5jb20vdHJlbi9yZWFkLzIwMjIvMDEvMjUvMTUzMDAwMjY1L2thc3VzLWtha2VrLTg5LXRhaHVuLXRld2FzLWRpa2Vyb3lvay1kYW4tZmVub21lbmEtbWFpbi1oYWtpbS1zZW5kaXJp?oc=5
2022-01-25 08:30:00Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar