Setelah merengkuh Afghanistan usai mendepak Amerika Serikat, Taliban terus mendekati sejumlah negara agar dunia menerima kekuasaannya. Kini, mereka mulai tebar pesona demi menggaet China dan Rusia.
Sebagian pengamat menganggap manuver Taliban ini bakal gagal, sementara yang lain optimistis. Sebagian pengamat menganggap Taliban penuh daya tarik dengan sumber daya alam, sementara yang lain khawatir bayang-bayang citra teroris.
Iming-iming investasi memang menggiurkan, apalagi tanah Afghanistan penuh dengan SDA yang diincar dunia. Meski miskin, warga Afghanistan sebenarnya tinggal di atas tanah yang menyimpan kekayaan mineral hingga senilai US$1 triliun berdasarkan perkiraan Pentagon.
Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia, Yon Machmudi, pun menganggap kekayaan sumber daya itu dapat menjadi pintu masuk untuk China ke Afghanistan.
"Dengan adanya kemungkinan rezim baru, Taliban dan China sudah bernegosiasi untuk membicarakan investasi sumber daya Afghanistan yang memang cukup besar. Itu bisa menjadi pintu masuk," ujar Yon kepada CNNIndonesia.com.
Meski demikian, sejumlah pengamat menganggap China kemungkinan kapok akan kegagalan sederet investasi mereka di Afghanistan di era Presiden Ashraf Ghani. Salah satu tambang batu bara China di Afghanistan, Aynak, kini bahkan berhenti beroperasi.
Direktur Program China di Stimson Center, Yun Sun, dalam artikel opininya di War on the Rocks menuliskan bahwa aral dalam proyek-proyek ini sebenarnya terkait dengan ketidakstabilan politik dan ancaman keamanan.
"Selama lingkungan keamanan masih belum stabil, China tampaknya tak akan meluncurkan proyek-proyek ekonomi besar di Afghanistan," tulis Yun Sun.
Lebih jauh, peneliti dari Quincy Institute, Adam Weinstein, juga menekankan bahwa meski keamanan nantinya sudah terjamin, masih banyak kesulitan lain yang menanti.
"Walaupun kekerasan berkurang, upaya terkait kekayaan mineral negara itu akan masih terhalang kekurangan infrastruktur dan tantangan besar dari medan lokasinya yang sulit," tulis Weinstein di situs Foreign Policy.
Kendati demikian, Yon Machmudi menganggap China mungkin akan tertarik untuk kembali berinvestasi jika Taliban bisa menjamin stabilitas.
Kini, Taliban terlihat membangun citra bahwa mereka bakal menciptakan stabilitas dengan berbagai janji, termasuk pemerintahan yang inklusif, dan terbuka ke dunia luar.
"Janji Taliban menjadi penting untuk memastikan stabilitas itu sehingga investasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur itu bisa dilakukan," tutur Yon.
Selain itu, Yon mengakui kualitas sumber daya manusia Afghanistan pun masih jauh tertinggal. Namun, ia yakin China bisa mencari cara lain untuk menambal kekurangan tersebut.
"Walaupun SDM Afghanistan sangat rendah, tapi itu bisa dipenuhi dengan SDM-SDM dari China untuk masuk dan melatih mereka, misalnya," kata Yon.
Ia kemudian berkata, "Itu tidak menjadi kendala untuk China karena pengalaman China kan banyak berinvestasi dengan negara-negara yang underdeveloped, negara-negara Afrika dan lain-lain. Jadi, itu bukan tantangan besar bagi China."
Meski bersilang pendapat menyoal investasi, beberapa pengamat sepakat bahwa Negeri Tirai Bambu dapat jatuh ke pelukan Taliban jika kelompok itu dapat menjamin tak mendukung separatis bernapas Islam di Xinjiang, wilayah China yang berbatasan langsung dengan Afghanistan.
Saat bertemu dengan perwakilan Taliban di Tianjin pada bulan lalu, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, membawa agenda itu ke meja diskusi. Menurut Yon, China kemungkinan membahas kesepakatan atau komitmen Taliban mengenai perkara separatis ini.
"Kesepakatan itu meminta agar Taliban tidak ikut campur dan menolak wilayah Afghanistan dijadikan tempat persembunyian kelompok-kelompok bersenjata yang dianggap mengganggu di Uighur, dalam hal ini separatis, yang itu menjadi kekhawatiran keamanan China," kata Yon.
Berangkat dari pemikiran ini, Yon memprediksi nantinya Taliban kemungkinan bakal bungkam dan tak akan mengintervensi urusan Muslim di Uighur.
"Dari sisi itu saya kira mereka bisa ketemu dan artinya ada perubahan-perubahan dari Taliban untuk mendapatkan kerja sama dengan negara besar, terutama dengan China," katanya.
"Nampaknya Taliban akan lebih pragmatis karena tantangannya terlalu besar yang dihadapi sehingga mereka akan lebih memilih jalan untuk bekerja sama dengan negara-negara yang bisa mendatangkan manfaat, terutama dalam sisi ekonomi Afghanistan."
Bicara soal negara bermanfaat bagi Afghanistan, citra Taliban sebagai pelindung teroris ini pula yang dianggap menjadi batu ganjalan untuk menjalin relasi dengan Rusia.
Citra Teroris Taliban dan Mimpi Rusia-China Perkuat Pijakan di Kawasan
BACA HALAMAN BERIKUTNYAhttps://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMibWh0dHBzOi8vd3d3LmNubmluZG9uZXNpYS5jb20vaW50ZXJuYXNpb25hbC8yMDIxMDgyNTAwMzQ0NS0xMTMtNjg0ODcxL3RhbGliYW4tcmF5dS1kdW5pYS1saXJpay1jaGluYS1kYW4tcnVzaWHSAXFodHRwczovL3d3dy5jbm5pbmRvbmVzaWEuY29tL2ludGVybmFzaW9uYWwvMjAyMTA4MjUwMDM0NDUtMTEzLTY4NDg3MS90YWxpYmFuLXJheXUtZHVuaWEtbGlyaWstY2hpbmEtZGFuLXJ1c2lhL2FtcA?oc=5
2021-08-25 00:07:00Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar