Minggu, 16 Mei 2021

Mitos-mitos Konflik Palestina dan Israel yang Berusia 100 Tahun - Kompas.com - Internasional Kompas.com

KOMPAS.com - Konflik Palestina dan Israel tengah memanas dalam beberapa pekan terakhir, dipicu dari Israel mengusir sejumlah keluarga Palestina di Yerusalem hingga menyerang jemaah Muslim yang beribadah di Masjid Al-Aqsa menjelang Idul Fitri.

Sejak saat itu, kedua negara tetangga ini terus saling kirim serangan balasan yang mematikan. Gedung-gedung hancur, masyarakat banyak yang tewas dan terluka.

Pecahnya konflik Palestina dan Israel memang bukan kali pertama. Konflik kedua negara ini telah berlangsung 100 tahun, yang disebut memiliki sejumlah mitos.

Apa sajakah itu? Melansir Huffpost.com berikut sejumlah mitos dari konflik Palestina dan Israel yang banyak menjadi pemahaman masyarakat luas:

Baca juga: Pertama Kali, Biden Telepon Presiden Palestina saat Konflik Berkecamuk

1. Konflik agama

Mayoritas penduduk Palestina adalah Muslim dan penduduk Israel adalah Yahudi, tetapi faktanya konflik kedua negara ini adalah tentang kepentingan bangsa.

Sejarah dunia mencatat, masalah konkretnya yaitu pencurian tanah, pengusiran, dan pembersihan etnis oleh pemukim asing yang datang di tanah adat.

Disebutkan bahwa di dalam masyarakat Palestina terdapat pula penduduk beragama Kristiani dan Yahudi. Sementara di Israel, ada pula penduduknya yang sekuler.

Baca juga: Duel Kepentingan Hamas dan Netanyahu dalam Konflik Israel-Palestina 2021

2. Masalah rumit

Di balik konflik menahun dan belum ada tanda konflik akan berhenti dalam waktu dekat, tetapi poin mendasar dari konflik Palestina dan Israel itu jelas.

Dasar masalahnya adalah penduduk asli yang diusir, dibunuh, dirampok, dipenjara, dan tanahnya diduduki selama puluhan tahun oleh pendatang.

Melansir Vox, ada 3 alasan utama mengapa konflik Palestina dan Israel bisa terasa jauh lebih rumit dari pada yang sebenarnya.

Pertama, ini telah berlangsung selama beberapa dekade, merupakan waktu yang lama. Itu berarti menguraikan satu detail sama saja harus membaca banyak sejarah. 

Kedua, masing-masing pihak memiliki narasi konflik yang sangat berbeda, apa yang terjadi, apa yang penting, dan siapa yang memikul tanggung jawab apa.

Ketiga, partisan pro-Israel/pro-Palestina sering mendorong gagasan bahwa konflik itu rumit di luar pemahaman orang luar.

Baca juga: Demo Mendukung Palestina Meluas ke Penjuru Eropa

3. Palestina terus menolak kesepakatan yang adil

Sejumlah upaya kesepakatan damai atas konflik Palestina dan Israel merujuk pada pembagian tanah kekuasaan, tapi sejauh ini tidak ada implementasi yang mencapai perdamaian abadi.

Terdapat argumen bahwa solusi itu pada dasarnya hanya membingkai mitos tentang pembagian yang adil atas tanah curian antara pihak penjajah dan bangsa pribumi.

Namun di luar dari pandangan tersebut, dalam perjanjian damai oleh PBB pada 1947 menunjukkan pembagian yang tidak proporsional, di mana 55 persen tanah dialokasikan kepada Israel.

Negosiasi pada 2008 antara Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas dan mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Palestina tidak diberi kesempatan untuk memperjuangkan Yerusalem.

Palestina tidak pernah ditawari kesepakatan yang memungkinkan terciptanya negara yang benar-benar merdeka, subur, memadai, dan aman.

Baca juga: Konflik Memanas, Palestina dan Israel Saling Balas Serangan di Udara dan Laut

5. Palestina tidak menginginkan perdamaian

Pandangan ini muncul dalam narasi yang ingin menggambarkan orang Arab hanya sebagai pihak yang membawa kekerasan, irasional, pra-modern, dan tidak demokratis serta tidak sesuai dengan diplomasi Barat.

Hal itu menyudutkan warga Palestina karena menolak pendudukan dan penindasan brutal mereka dari Israel.

Faktanya, Palestina menginginkan perdamaian dengan mengupayakan sejumlah perjanjian damai, yang diharapkan prasyarat yang mendasar adalah keadilan.

6. Anti-semit

Anti-Semitisme adalah fenomena yang sangat nyata di seluruh dunia. Namun, klaim ini sering ditujukan kepada siapa pun yang mengkritik atau memprotes praktik Israel.

Klaim anti-semit pada praktinya sering disamakan antara Yudaisme, Zionisme, dan Israel sebagai negara. Seolah mengkritik Israel, berarti mengkritik Yudaisme.

Pendapat semacam itu juga mengabaikan fakta bahwa tradisi Yahudi adalah salah satu yang mendambakan keadilan, di mana prinsip murninya sangat bertentangan dengan tindakan pemerintah Israel.

Baca juga: Mesir Buka Perbatasan untuk Bantu Warga Palestina yang Luka Parah

Adblock test (Why?)


https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMigwFodHRwczovL2ludGVybmFzaW9uYWwua29tcGFzLmNvbS9yZWFkLzIwMjEvMDUvMTYvMTY0MTAyNDcwL21pdG9zLW1pdG9zLWtvbmZsaWstcGFsZXN0aW5hLWRhbi1pc3JhZWwteWFuZy1iZXJ1c2lhLTEwMC10YWh1bj9wYWdlPWFsbNIBfmh0dHBzOi8vYW1wLmtvbXBhcy5jb20vaW50ZXJuYXNpb25hbC9yZWFkLzIwMjEvMDUvMTYvMTY0MTAyNDcwL21pdG9zLW1pdG9zLWtvbmZsaWstcGFsZXN0aW5hLWRhbi1pc3JhZWwteWFuZy1iZXJ1c2lhLTEwMC10YWh1bg?oc=5

2021-05-16 09:41:00Z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar